Selamat datang di ruang ventilasi

Kumpulan tulisan ringan tanpa tendensi. Tidak untuk dibaca dengan kening berkerut, apalagi sampai lapor polisi....

Sabtu, 30 Januari 2010

Punggung turun ke bawah...

Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Ungkapan ini bisa diterapkan di mana saja, ternyata. Sebagai contoh soto. Di Indonesia boleh dibilang hampir semua daerah punya sotonya sendiri2. Nama boleh sama. Tapi sotonya orang Betawi beda total dengan sotonya orang Kudus. Apalagi dengan soto Padang. Soto ambengannya Pak Sadi beda dg soto ambengan favoritku yg pake mobil dan cuma ada pagi hari di emperan (dulu) Aldiron Plaza Blok M. Bahkan soto Pak Sadi yg Surabaya juga gak persis sama dengan Pak Sadi yg Walter Monginsidi lho. Dari pengucapannya pun, soto berbeda-beda juga. Di Makassar disebut coto. Di sebagian pantura ada yg kasih nama tauto. (Tapi tentu sotoy tdk termasuk genus soto).

Urusan bahasa ternyata juga lain lubuk lain ikannya.

Seperti pernah kutulis tempo hari, "mata" di Jawa dipakai utk hewan. Padahal bahasa Indonesia "mata" dipakai untuk semua makhluk, mulai ikan, orang,maling (maling itu orang bukan sih?), pisau, angin, sampai dewa. Eh, hati pun punya mata juga. Ketinggalan.

Itu baru sesama Indonesia.

Dengan negeri tetangga lebih seru lagi. Kadang2 saking sama2 gak mudheng sampai berantem.

Dulu, waktu di Malaysia, aku pernah saling geleng kepala gak faham dg seorang fisioterapis. Karena kena low back pain aku pergi ke dia, yg orang Melayu setengah Gujarat. Aku bilang padanya utk "do something pd saya punya punggung". Dia kaget sedetik, tapi setelah itu cekikikan sendiri. Ini perempuan apa pulak terkikik kayak hyenna. Aku bilang lagi punggungku sakit, sambil menunjuk area di atas panggul. Dia malah ketawa. "Dokter, itu bukan punggung la. Itu belakang la".
Yeee....., nenek2 juga tahu punggung di belakang. Mana ada punggung tukaran tempat ama perut?! Sepuluh menit kami eyel2an dan baru mencapai kesepakatan setelah pakai bahasa Inggris. Back ache! Nah. Akur deh.

Rupanya mereka terjemahkan back sebagai "belakang" (hehe..bener jg sih). Lha terus punggung apaan? Ternyata di sono punggung itu berarti pantat. Lha pantat apa? Pantat di sana artinya (maaf ya): genitalia perempuan (itu lho... the M word). Walah-walah, kok jauh bener ya? Jadi, di Malaysia, punggung turun ke bawah dan pantat pindah ke depan. Gubrakk!!!

Ini baru satu. Masih buanyak lagi kata yang bunyinya sama tapi punya arti melenceng bahkan beda sama sekali. Untuk yg tidak berkepentingan memang sekadar lucu2an saja, tapi buat yang akan melancong ke sana (apalagi yg bakal tinggal cukup lama) mungkin ada baiknya tahu. Jangan sampai kita diketawain ato bahkan diprenguti hanya karena salah paham.

Di Indonesia, "gampang" adalah sinonim dari "mudah". Untuk percakapan nonformal rasanya kita lebih sering mengucapkan "gampang" daripada "mudah" kan? Nah, di Malaysia jangan sebaiknya selalu gunakan "mudah" saja deh. Sebab kata "gampang" mengandung konotasi buruk. Kata ini dikaitkan dengan "sesuatu yang haram dan tidak seharusnya ada", misalnya "anak gampang" yang berarti anak haram. Kata "kebutuhan" juga sebaiknya tidak digunakan karena dikaitkan dengan sexual needs.
Ada lagi kata-kata yang terasa lucu karena artinya beda dengan bahasa kita. "Sulit", di Indonesia adalah sinonim dari susah atau sukar. Di sana, sulit artinya confidential alias urusan rahasia. Lalu ada kata "pantas" yang di sana artinya "cepat". Lho? Kalau lambat atau lamban, digunakan kata "lembab" yang di sini berarti humid. Hahaaa, memang lain banget kan pakainya... Lucu kan?

Ada lagi kata yang artinya melenceng juga, yaitu "lewat". Kalau bisa hindari pemakaian kata ini, karena di sana ini bukan sinonim dari "lalu", melainkan berarti "sodomi". Gile benerrr...darimana kok bisa begini yak?? Kalau ini sih sama sekali tidak terasa lucu. Karena mereka mengucapkan kata ini untuk tujuan mengejek para homoseksual. Gak lucu...


Tahu kata misai? Artinya kumis. Mungkin kita hanya bisa menemukannya dalam buku-buku pelajaran jadul atau novel-novel melayu jaman Pujangga Dua Belas. Tahu arnab? Nhaa..ini aku betul-betul tidak pernah mendengar sebelumnya. Artinya kelinci. Heheee. Tembikai pernah dengar? semangka! Hohoooo....

Tapi ada juga kata yang di Indonesia berkonotasi miring, sedangkan di sana dapat digunakan sepuas hati. Misalnya "seronok". Di sana artinya "fun", jadi ente bisa sering-sering pakai. Seronoknye.....!

Sebetulnya masih banyak kata-kata yang terasa lucu. Yang pasti, di sana "bersalin" tetap "bersalin", bukan "korban lelaki". Gosip tuh.....

Sabtu, 23 Januari 2010

Endorphine


Endorpine is endogenous morphine. Our body produces its own morphine, wich effects are similar to morphine. But, unlike exogenous morphine, it won't give a usual histamine-related effects (a.k.a allergic reaction), since it's produced by ourselves. Other difference is, it won't cause addiction. Exogenous morphine and other look-alike drugs (named opioids) will cause toleration and addiction. Toleration means your body will tolerate the recent dose you use. Means, to get the same clinical effect as previous, you need to increase the dose for the next usage. Again and again. This is what we know as addiction. The truth is, addiction has two aspects, clinical/ physiological (a.k.a. toleration) and psychological aspect. Opioid abusers experient what we know as psychological dependency. And this is more difficult to manage. Eventhough the body is already "cleaned" or detoxicated, many times an ex abuser will fall again because of CRAVING. This is clearly a common psychological problem in an abuser.

What's the purpose of endorphine?
Like morphine, this substance gives us the effect of sedation, mild analgesia, and a "nice feeling" which makes us relaxed and happier. It's not euphoria, but a naturally normal happy feeling.

When you're tired, the entire body will give signals to each other part. This signal is caught and transferred by the nervous system. Then, endorphine will be released and attach to their sites (the opiate receptors) in the central nervous system, giving those effects above. We will then, feel sleepy and probably take a nap. If we sleep effectively, even just for 5-10 minutes, our body will feel much better. It also happens when we're sick or got pain.

How to produce endorphine?
We can't controle it. Endorphine is produced automatically when our body senses the need of this natural chemical stuff. That's why endorphine doesn't cause addiction. Our body is an amazing system with complicated-sophisticated mechanism that can controle everything by itself, as long as the "everything" is within normal range (this is what is called "homeostasis"). We cannot lie, cannot bully our body to do something we don't really need. But, like everything in this world, there's nothing perfect. There are thresholds. If, for example, the pain exceeds the threshold which our body can tolerate, endorphine will not counter it. We need something else (e.g. pain relief drugs).

There are things that can also trigger the production and release of endorphine. Almost every physical activity (sport, for example), caressing hair, listening to the music, and .... laugh a lot! These are just examples of things that can stimulate the conduction of impulses throughout the nervous system.

So, if you feel bad, your day went wrong, everything's messed up, don't go to the hell. DO NOT take exogenous morphine or its derivatives or look-alike drugs (heroin, cannabis, etc) or sleeping pills. You just need to do something that can release your own endorphine. And remember this : LAUGH a lot! It helps, trust me! At least for several hours....

But, be carefull. If you feel you laugh TOO MUCH, sometimes without any appropriate reason........ I think, that's the time you need a help. Go seek a shrink!

Kamis, 21 Januari 2010

S3 oh S3

Duluuuu sekali, aku pikir program S3 itu sesuatu yang di awang-awang, tak terjangkau. Setelah melihat beberapa teman berhasil memperoleh gelar Doktor atau PhD, kupikir ini tidak terlampau sulit. Tapi......apa iya gak susah?

Satu semester pertama sih oke oke aja, memang. Hanya diisi berbagai kuliah dari yang paling susah sampai yang paling tidak masuk akal (filsafat, bok! cuma orang-orang dengan struktur otak berbeda aja yang faham ilmu filsafat...!), ujian-ujian dan diskusi massal. Kebayang gak, diskusi dengan satu moderator merangkap penyaji utama merangkap narasumber (ya sang profesor si empunya session) dengan peserta sebanyak kira-kira 100 orang? Nah, bisa ditebak, yang jadi penyanggah alias komentator paling cuma satu, dua, tiga,...nggak sampai 7 orang deh. Yang lain ngapain? Yang sok perhatian biasanya cuma manggut-manggut munafik setiap kali ada yang mengemukakan pendapat (meskipun pendapatnya bertolak belakang dengan pendapat sebelumnya, yang dia manggut-manggut juga). Yang realistik dan kreatif biasanya menciptakan aktivitas sendiri: nggambar kartun, main catur jawa, atau yang paling banyak adalah SMSan (gue termasuk kelompok ini, kreatif gitu lho. Hwehehee). Tapi ada juga yang kurang ajar (lebih dari seorang lho), tidur!!! Gak sopan....
Selain kuliah-kuliah, yang penting maupun yang ajaib, kami juga menjalani beberapa kali ujian tulis. Perlu diingatkan sebelumnya, peserta program S3 ini hampir semuanya emak-emak, bapak-bapak, bahkan eyang-eyang. Jadi tolong dimaklumi kalau kemampuan kami menjawab soal ujian berbeda dengan peserta program S2 yang rata-rata umur 30an (kuliahnya sebagian memang digabung). Kalau prosesor komputer, mereka pake intel core II duo, kami ini celeron aja...
Tapi, percaya atau tidak, diriku termasuk di antara sedikit (kurang dari sepertiga) peserta yang tidak pernah kena ujian remedial, lho. Alhamdulillah....karena ini jelas faktor luck dan belas kasihan Tuhan, karena kalau lihat kualitas, otak ane udah lebih banyak kapurnya daripada jaringan sehatnya (secara udah over 40 gitu..). Maka, semester pertama pun berlalu dengan selamat.

Bagaimana selanjutnya? Selanjutnya terserah kami. Beneran nih. Selanjutnya memang kegiatan mandiri dalam rangka penyusunan proposal tesis, ketemu pembimbing, riset dst dst. Di sinilah baru kulihat program S3 yang sebenarnya. Semua jalan sendiri-sendiri, tanpa ada yang menemani. Dan tahu nggak? Sekarang aku sadar, program S3 sebaiknya diambil tidak di institusi sendiri. Kenapa? Karena di sini engkau akan berjumpa setiap hari dengan sejawat-sejawatmua, yang berpikir bahwa menjalani program pendidikan itu sama dengan "leyeh-leyeh nggak kerja tapi dapat gaji". (Padahal uang sekolah setinggi langit ditanggung sendiri).Tidak ada seorang pun yang rela melihat muka kita tanpa menuntut kita melakukan pekerjaan rutin. Padahal, ikut program S3 ini juga tugas dari Dekan lho, bukan gaya-gayan doang. Teman-teman peserta S3 dari Trisakti diperlakukan jauh lebih baik oleh institusinya. Mereka dibebaskan dari aktivitas rutin seperti mengajar dan pelayanan, selama berkonsentrasi di program ini. Makanya, kalau mau jadi Doktor mendingan di luar negeri aja sekalian, supaya muka kita bener-bener hilang dari kantor departemen.

Terlepas dari ketidakrelaan sejawat melihat kita "leyeh-leyeh nggak kerja tapi dapat gaji", proses pembuatan proposal tesis bukanlah barang mudah. (Ccalon) riset doktoral harus memenuhi syarat a.l. novel (baru), menarik dan tentu saja feasible untuk dilakukan. Nah ini dia.....

Belum lama berselang, seorang sejawat menyelesaikan S3 dengan predikat cum laude dengan kecepatan turbo, setelah melakukan riset yang (maaf yaaa) sama sekali tidak novel (secara sudah ratusan kali dilakukan orang di luar negeri). Dan metode risetnya pun (aduh, maaf lagiiii) sederhanaaaaa banget! Sementara diriku, baru bikin praproposal saja sudah dikritik tidak novel lah, lebih pantas untuk S2 lah, tidak menarik lah...... Padahal.... Ini bukan sirik lho. Tapi iya sih, sirik juga sih. Habis, nyata sekali kan ketidakadilan dan standar gandanya?!

Proposalku ganti. Kali ini para calon pembimbing manggut-manggut tapi dengan muka kosong dan alis berkerut. Bisa gak sih dilakukan di Indonesia? Nah lo...

Sodara-sodara, dengan ini saya umumkan bahwa negara tercinta kita yang umurnya lebih setengah abad ini, dalam urusan penelitian ilmiah ilmu non-sosial, ternyata tertinggal nyaris setengah abad dibandingkan negara lain! tidak usah bicara Jepang atau Amerika, dengan Singapura bahkan Malaysia aja kita jauuuuuuuuuuhhhhhh tertinggal. Jadi, maka dari itu, sodara-sodara tidak usah gembar-gembor akan memacu percepatan penelitian ilmiah di kalangan akademisi non-sosial, juga tidak usah menghujat sistem pendidikan yang tidak mampu menghasilkan lulusan siap pakai dan siap saing dengan orang luar. Yang salah bukan cuma sistem pendidikan, tapi keseluruhan sistem di negara ini bok!!!!

Jadi, aku harus membongkar lagi proposalku. Kali ini otakku yang sudah banyak kapur ini betul-betul ngadat. Sudahlah urusan pribadi ruwet, urusan pekerjaan lebih amburadul lagi, badan pun sudah harus turun mesin. Alhasil, hampir satu tahun proposalku belum juga kelar. Boro-boro kelar, separo jalan aja belum. Kadang aku heran dengan beberapa kolega. Ada yang dalam waktu setahun (lebih dikit sih) sudah berhasil mendapat gelar Doktor. Ini orangnya yang luar biasa jenius atau penyelenggara program S3nya yang abal-abal? bukan sirik lho, tapi memang S3 tidak identik dengan tingkat kejeniusan pesertanya. Serius. Kan sudah saya bilang tadi, ada faktor keprimitifan sistem di negeri ini yang menghambat, di samping belasan faktor penghambat lain (yang paling atas: biaya). Maka dari itu, kalau ada seorang peserta program S3 di Indonesia berhasil tamat dalam waktu kurang dari dua tahun, hmmm............. (silakan diisi sendiri titik-titiknya).....

Sekarang, apa yang dapat kulakukan? Kuaktifkan tombol "SIRIK MODE" on..... Click!


Fine-esthesia


Esthesia (atau aesthesia) berasal dari bahasa Yunani yang artinya kira-kira "rasa". Istilah esthesia kemudian ditambah awalan an (yang berart "tidak") digunakan untuk salah satu cabang ilmu kedokteran. Arti harafiah an-esthesia berarti hilangnya rasa (sense) atau "mati rasa". Anesthesiology mempelajari seluk beluk anestesia secara luas dan berkembang terus, hingga anestesia sekarang tidak hanya berarti "hilangnya rasa" namun mengacu kepada semua aktivitas/ prosedur yang diperlukan agar seorang pasien dapat menjalani suatu prosedur medis yang "tidak nyaman".

Finestesia merupakan kata blasteran Inggris-Yunani karanganku sendiri, berasal dari "fine" dan "aesthesia". Artinya bisa dikira-kira sendiri. "Rasa yang menyenangkan", atau apalah. Sak karepe.
Ya, blog ini kubuat demi menciptakan "fine feeling".
Terkadang kepala kita serasa penuh atau hati ingin meledak karena suatu hal. Malangnya tidak semua hal dapat kita share dengan orang lain. Mungkin karena terlalu pribadi, atau dapat menyakiti, atau terlalu konyol dan kampungan untuk diketahui orang lain. However, ini betul-betul memenuhi kepala dan hati. Kalau dipendam sendiri bisa gila. Atau sedikit lebih bagus, stroke.
Blog ini adalah laman ventilasi untukku. Aku memang sudah tidak muda lagi, karenanya kadang tengsin juga kalau mau curhat. Kok kayak ABG aja, gitu. Tapi kalau dipendam terus kok jadi seperti bisul yang terus membesar menjadi abses.
Mudah-mudahan dengan blog ini aku dapat menarik nafas dan dapat memperpanjang umurku.