Selamat datang di ruang ventilasi

Kumpulan tulisan ringan tanpa tendensi. Tidak untuk dibaca dengan kening berkerut, apalagi sampai lapor polisi....

Minggu, 23 Mei 2010

Sebelas juta sembilan ratus ribu rupiah saja


Aku tidak pernah mempunyai Personal Computer. Selama ini selalu pakai laptop. Gonta-ganti dengan berbagai merk. Biasanya umur 3 tahun lebih dikit mulai deh rewel. Sesak nafas, jalan makin lambat, hang melulu,.... Jadinya piranti yang harusnya mempermudah pekerjaan malah menambah pekerjaan plus beban mental. Yang kayak gini kan bikin marah mulu bawaannya! Belum lagi duit yang harus keluar karena servis ini-itu. Penjual barang-barang gini kan pinter, kasih garansi maksimal (yang extended) 3 tahun, karena biasanya masalah akan datang pas 3 taun + 1 hari.
Tapi bagaimana pun njelehi, laptop tetap menang dari segi praktis. Bisa dibawa ke mana-mana. Tanpa listrik pun jadi, meski gak bisa lama-lama. Masalahnya, seiring dengan merambat naiknya umur, cadangan energi dan minyak sendi pun merambat...turun. Alhasil, yang dulu bisa nenteng laptop 2,5 kiloan sekarang cuma sanggup yang 1,7 kilo. Akibat ikutannya adalah kapasitas si mungil ini pun turun lah. Prosesor gak bisa Core 2 Duo, cuma Atom doang. Hasil akhir? Yaaa, lagi-lagi muntah-muntah melulu tuh laptop, kekenyangan. Demi tidak terjadi overload, terpaksa deh rajin mindahin isi perutnya ke external hard disc. Jadi capek kan. Giliran kita perlu data yang kemaren-kemaren kudu colok dulu tuh hard disc.
Maka lama kelamaan, racun yang ditiupkan teman-teman sejawatku mulai menembus kulit kepala, menyusup di antara periosteum kranium, mengalir di antara sulkus dan girus, meresap dan akhirnya mengendap di dlam sitosol sel-sel neuronku. Aku teracuni..... Teman-temanku, si peracun itu, pun makin semangat.
Akhirnya datanglah barang itu. Berapa harganya? "11 jeti 900", kata temanku. Ha? Dua belas juta kurang seratus ribu hanya untuk sebuah apel yang sudah digigit?! "Ini termasuk murah lho! Aku sudah browse, harga aslinya 1200 koma sekian USD lho. Trus, di toko X dia jual 12 koma sekian jeti. Di toko Y lebih mahal lagi, 12 setengah jeti. Di toko Z lebih murah sih, 11 koma 1 jeti. Tapi stocknya lagi kosong...". Aku mikir. Beli nggak, beli nggak, beli..nggak...beli...nggak......beli. Temanku bilang harga segitu biasa saja. Yang lebih mahal juga banyak kok. Oke deeeeh.
Akhir minggu, seperti biasa jadwalku pulang ke rumah ibu dan ketemu kakak beserta ponakan-ponakanku. Kakakku menyampaikan cerita sedih tentang seorang sahabat masa remajanya. Akibat bisnis dengan cara tidak profesional, hanya berdasar asas kepercayaan, dia yang dulunya berasal dari keluarga cukup berpunya sekarang hidup sangat sangat kekurangan. Anaknya terancam tidak meneruskan pendidikan karena tidak sanggup membayar uang muka sekolah. Berapa sih? "Tiga juta sekian", kata kakakku. Aku tercenung. Tiga juta...
Belum selesai tuh cerita. Aku punya dua set ponakan yang sudah yatim. Satu set isinya 4 orang tuyul, tinggal di Jakarta. Yang satu set lagi dua orang, sudah beranjak besar, tinggal di kota lain. Ayah-ayah mereka sudah meninggal sejak mereka kecil dan keduanya adalah sepupuku. Mereka semua, baik yang tuyul maupun yang sudah besar, perlu biaya untuk sekolah dan kuliah. Yang tertua, kuliah teknik, nyambi cari uang dengan ngasih les di sana-sini. Tapi tetap saja kurang. Kali ini dia banting tulang cari tambahan uang untuk keperluan studinya. Dia perlu sejumlah 1,5 juta...! Banting tulang untuk 1,5 juta..?!
Belum tamat. Kata kakakku, si sulung yatim yang di Jakarta juga perlu uang tambahan untuk sekolahnya. Dia memang anak asuhku dan tiap bulan kuberi sejumlah tetap uang. Rupanya dia tidak enak hati minta tambahan sehingga terancam tidak bisa ikut suatu kegiatan di sekolah. Emang berapa sih perlunya? "Satu juta berapa, gitu", kata kakakku.
Aku tercenung.
Dengan ringannya aku menyatakan Rp 11.900.000 itu "murah", sedangkan orang lain, yang tidak jauh dari lingkaran keluargaku, tidak berdaya untuk angka di bawah 2 juta.... Keponakanku, anak yatim, mengorbankan jam-jam istirahat dan kesempatan berkencannya demi mendapatkan uang tambahan 1,5 juta.....
Ya Tuhan.... Malunya aku....

"Cling!", iPhoneku berbunyi. "Dok, mau ikut rombongan ke Dubai nggak, kongres dunia nanti?". SMS sekretaris di kantor bertanya seolah-olah nawarin belanja rame-rame ke Tanah Abang.
"Berapa perlunya?", balasku.
"Kalo nggak ikut tour ke Turki, cuma ke Jordan, sekitar 30-40 dok. Kalo mau plus tour ke Turki nambah dikit".
Kukatakan "tidak" kepada si sekretaris. Pake "terima kasih", tentu. Aku tidak mengatakan aku tak sanggup bayar 40 juta. Itu bohong namanya. Tapi...... Wajah anak teman kakakku, ponakan ABGku, ponakan segede tuyulku... Duuuhhhh....

Akhir minggu berikutnya. Pagi-pagi sebelum dunia hingar-bingar, sebelum lobby apartemen dipenuhi segala bentuk manusia, dari yang tertutup rapat dari ujung ke ujung, hingga yang hanya tertutup ujungnya saja, kupaksakan membuka mata. Melangkah ke tiga gerai ATM di lantai bawah. BCA Rp sekian untuk rekening teman kakakku. Mandiri Rp sekian untuk ponakanku si tuyul. Niaga Rp sekian untuk ponakan ABGku. Maafkan tante ya anak-anak, membiarkan kalian hidup susah sementara tante setebal karung karena kekenyangan makan.
Tuhan, beri aku kesehatan, umur panjang, rejeki yang halal dan kemampuan untuk membantu orang-orang yang hamba kasihi. Dan .....kurangi dikit dosa hamba, boleh....?