Selamat datang di ruang ventilasi

Kumpulan tulisan ringan tanpa tendensi. Tidak untuk dibaca dengan kening berkerut, apalagi sampai lapor polisi....

Kamis, 21 Januari 2010

S3 oh S3

Duluuuu sekali, aku pikir program S3 itu sesuatu yang di awang-awang, tak terjangkau. Setelah melihat beberapa teman berhasil memperoleh gelar Doktor atau PhD, kupikir ini tidak terlampau sulit. Tapi......apa iya gak susah?

Satu semester pertama sih oke oke aja, memang. Hanya diisi berbagai kuliah dari yang paling susah sampai yang paling tidak masuk akal (filsafat, bok! cuma orang-orang dengan struktur otak berbeda aja yang faham ilmu filsafat...!), ujian-ujian dan diskusi massal. Kebayang gak, diskusi dengan satu moderator merangkap penyaji utama merangkap narasumber (ya sang profesor si empunya session) dengan peserta sebanyak kira-kira 100 orang? Nah, bisa ditebak, yang jadi penyanggah alias komentator paling cuma satu, dua, tiga,...nggak sampai 7 orang deh. Yang lain ngapain? Yang sok perhatian biasanya cuma manggut-manggut munafik setiap kali ada yang mengemukakan pendapat (meskipun pendapatnya bertolak belakang dengan pendapat sebelumnya, yang dia manggut-manggut juga). Yang realistik dan kreatif biasanya menciptakan aktivitas sendiri: nggambar kartun, main catur jawa, atau yang paling banyak adalah SMSan (gue termasuk kelompok ini, kreatif gitu lho. Hwehehee). Tapi ada juga yang kurang ajar (lebih dari seorang lho), tidur!!! Gak sopan....
Selain kuliah-kuliah, yang penting maupun yang ajaib, kami juga menjalani beberapa kali ujian tulis. Perlu diingatkan sebelumnya, peserta program S3 ini hampir semuanya emak-emak, bapak-bapak, bahkan eyang-eyang. Jadi tolong dimaklumi kalau kemampuan kami menjawab soal ujian berbeda dengan peserta program S2 yang rata-rata umur 30an (kuliahnya sebagian memang digabung). Kalau prosesor komputer, mereka pake intel core II duo, kami ini celeron aja...
Tapi, percaya atau tidak, diriku termasuk di antara sedikit (kurang dari sepertiga) peserta yang tidak pernah kena ujian remedial, lho. Alhamdulillah....karena ini jelas faktor luck dan belas kasihan Tuhan, karena kalau lihat kualitas, otak ane udah lebih banyak kapurnya daripada jaringan sehatnya (secara udah over 40 gitu..). Maka, semester pertama pun berlalu dengan selamat.

Bagaimana selanjutnya? Selanjutnya terserah kami. Beneran nih. Selanjutnya memang kegiatan mandiri dalam rangka penyusunan proposal tesis, ketemu pembimbing, riset dst dst. Di sinilah baru kulihat program S3 yang sebenarnya. Semua jalan sendiri-sendiri, tanpa ada yang menemani. Dan tahu nggak? Sekarang aku sadar, program S3 sebaiknya diambil tidak di institusi sendiri. Kenapa? Karena di sini engkau akan berjumpa setiap hari dengan sejawat-sejawatmua, yang berpikir bahwa menjalani program pendidikan itu sama dengan "leyeh-leyeh nggak kerja tapi dapat gaji". (Padahal uang sekolah setinggi langit ditanggung sendiri).Tidak ada seorang pun yang rela melihat muka kita tanpa menuntut kita melakukan pekerjaan rutin. Padahal, ikut program S3 ini juga tugas dari Dekan lho, bukan gaya-gayan doang. Teman-teman peserta S3 dari Trisakti diperlakukan jauh lebih baik oleh institusinya. Mereka dibebaskan dari aktivitas rutin seperti mengajar dan pelayanan, selama berkonsentrasi di program ini. Makanya, kalau mau jadi Doktor mendingan di luar negeri aja sekalian, supaya muka kita bener-bener hilang dari kantor departemen.

Terlepas dari ketidakrelaan sejawat melihat kita "leyeh-leyeh nggak kerja tapi dapat gaji", proses pembuatan proposal tesis bukanlah barang mudah. (Ccalon) riset doktoral harus memenuhi syarat a.l. novel (baru), menarik dan tentu saja feasible untuk dilakukan. Nah ini dia.....

Belum lama berselang, seorang sejawat menyelesaikan S3 dengan predikat cum laude dengan kecepatan turbo, setelah melakukan riset yang (maaf yaaa) sama sekali tidak novel (secara sudah ratusan kali dilakukan orang di luar negeri). Dan metode risetnya pun (aduh, maaf lagiiii) sederhanaaaaa banget! Sementara diriku, baru bikin praproposal saja sudah dikritik tidak novel lah, lebih pantas untuk S2 lah, tidak menarik lah...... Padahal.... Ini bukan sirik lho. Tapi iya sih, sirik juga sih. Habis, nyata sekali kan ketidakadilan dan standar gandanya?!

Proposalku ganti. Kali ini para calon pembimbing manggut-manggut tapi dengan muka kosong dan alis berkerut. Bisa gak sih dilakukan di Indonesia? Nah lo...

Sodara-sodara, dengan ini saya umumkan bahwa negara tercinta kita yang umurnya lebih setengah abad ini, dalam urusan penelitian ilmiah ilmu non-sosial, ternyata tertinggal nyaris setengah abad dibandingkan negara lain! tidak usah bicara Jepang atau Amerika, dengan Singapura bahkan Malaysia aja kita jauuuuuuuuuuhhhhhh tertinggal. Jadi, maka dari itu, sodara-sodara tidak usah gembar-gembor akan memacu percepatan penelitian ilmiah di kalangan akademisi non-sosial, juga tidak usah menghujat sistem pendidikan yang tidak mampu menghasilkan lulusan siap pakai dan siap saing dengan orang luar. Yang salah bukan cuma sistem pendidikan, tapi keseluruhan sistem di negara ini bok!!!!

Jadi, aku harus membongkar lagi proposalku. Kali ini otakku yang sudah banyak kapur ini betul-betul ngadat. Sudahlah urusan pribadi ruwet, urusan pekerjaan lebih amburadul lagi, badan pun sudah harus turun mesin. Alhasil, hampir satu tahun proposalku belum juga kelar. Boro-boro kelar, separo jalan aja belum. Kadang aku heran dengan beberapa kolega. Ada yang dalam waktu setahun (lebih dikit sih) sudah berhasil mendapat gelar Doktor. Ini orangnya yang luar biasa jenius atau penyelenggara program S3nya yang abal-abal? bukan sirik lho, tapi memang S3 tidak identik dengan tingkat kejeniusan pesertanya. Serius. Kan sudah saya bilang tadi, ada faktor keprimitifan sistem di negeri ini yang menghambat, di samping belasan faktor penghambat lain (yang paling atas: biaya). Maka dari itu, kalau ada seorang peserta program S3 di Indonesia berhasil tamat dalam waktu kurang dari dua tahun, hmmm............. (silakan diisi sendiri titik-titiknya).....

Sekarang, apa yang dapat kulakukan? Kuaktifkan tombol "SIRIK MODE" on..... Click!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar